Identitas Buku
Judul : Kejahatan
Di Bidang Perpajakan
Pengarang : Prof. Dr. Muhammad Djafar Saidi , S.H., M.H. ,
Pengarang : Prof. Dr. Muhammad Djafar Saidi , S.H., M.H. ,
Eka Merdekawati Djafar , S.H., S.S.,M.H
Penerbit : Rajawali
Pers
Halaman : 230
Berat : 0.23 kg
Tahun : 2011
Ukuran
: 13.5 x 20.5 cm
ISBN : 9789797693312
PENDAHULUAN
Buku Kejahatan Di
Bidang Perpajakan ini merupakan sebuah buku yang mengkaji secara mendalam
kejahatan di bidang perpajakan. Delik pajak tidak boleh disamakan dengan delik
korupsi, keduanya memiliki substansi kejahatan yang berbeda dengan akibat hukum
yang ditimbulkan berbeda pula. Penyidikan terhadap kejahatan di bidang
perpajakan harus dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di
Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak bukan dilakukan oleh pihak Kepolisian. Hal
ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum keabsahan penyidikan ketika
terjadi kejahatan di bidang perpajakan, baik saat terkini maupun kedepan.
Buku ini berisikan substansi
kejahatan di bidang perpajakan dengan rinciannya. Hadirnya buku ini diharapkan
dapat memberikan aspirasi kepada mahasiswa fakultas hukum, pegawai pajak, wajib
pajak, pejabat pajak serta pihak - pihak lain, dan penegakan hukum seperti
pengacara, advokat, polisi, penuntut umum, dan hakim agar memahami kejahatan di
bidang perpajakan. Tujuannya agar penegakan hukum pajak tidak disalahgunakan
oleh pihak-pihak tertentu. Belum banyak buku yang secara rinci membahas
mengenai masalah – masalah perpajakan tersebut sehingga kehadiran buku ini
memang sangan tepat dan di nanti berbagai pihak, sehingga kita dapat memahami
dengan lebih mendalam mengenai kejahatan di bidang perpajakan. Diharapkan
hadirnya buku ini dapat membuat masyarakat lebih terbuka dan pedulu mengenai
duni perpajakan yang pada saat ini hanya ada segelintir orang tertentu yang
memahami dan mendalami masalah tersbut.
Pengertian kejahatan di bidang
perpajakan dapat ditinjau dari aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis ketiga
aspek ini perlu dicermati secara mendetail sebelum melangkah pada tahap
subtansi kejahatan itu sendiri. Kejahat di bidang perpajakan sangat terkait
dengan penerapan hukum pajak untuk mengarahkan pegaawai pajak, wajib pajak,
pejabat pajak atau pihak lain agar menaati peraturan perundang – undangan. Ketika
kejahatan di bidang perpajakan telah memenuhi unsur – unsur delik pajak, maka
pelaku kejahatan pajak wajib dikenakansanksi pidana sebagaimana ditentukan
dalam kaidah hukum pajak. Apabila ditelusuri sanksi pidana sebagai suatu suatu
ancaman hukuman ditunjukan keapada pelaku kejahatan ang memenuhi rumusan kaidah
hukum pajak hanya berupa hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda.
RANGKUMAN ISI BUKU
1 Pendahuluan
A. Ruang Lingkup Peristilahan
Perkembangan pergaulan
dalam bernegara tidak hanya memberi dampak positif tapi juga memberi dampak
negatif. Keduanya harus dapat dihadapi melalui instrumen hukum, pengaruh yang
bersifat negatif merupakan hambatan atau kendala yang dihadapi negara untuk
mencapai tujuannya. Misalnya adalah kejahatan di bidang perpajakan yang dapat
memepengaruhi keuangan negara dan menghambat terciptana kesejahteraan.
Pengertian kejahatan di bidang
perpajakan dapat ditinjau dari aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis ketiga
aspek ini perlu dicermati secara mendetail sebelum melangkah pada tahap
subtansi kejahatan itu sendiri. Kejahat di bidang perpajakan sangat terkait
dengan penerapan hukum pajak untuk mengarahkan pegawai pajak, wajib pajak,
pejabat pajak atau pihak lain agar menaati peraturan perundang – undangan.
Secara yuridis, kejahatan di bidang
perpajakan menunjukan bahwa kejahatan ini merupakan subtansi hukum pajak karena
terlanggarnya kaidah hukum pajak. Secara sosiologis kejahatan di bidang
perpajakan telah memperlihatkan suatu keadaan nyata yang terjadi dalam
masyarakat sebagai bentuk aktivitas pegawai pajak, wajib pajak, pejabat pajak
atau pihak lain. Sementara itu secara filosofis tersirat makna bahwa telah
terjadi perubahan – perubhan nilai dalam masyarakat ketika suatu aktivitas
perpajakan di lakukan sebagai bentuk peranserta dalam berbangsa dan bernegara.
Ketika kejahatan di bidang
perpajakan telah memenuhi unsur – unsur delik pajak, maka pelaku kejahatan
pajak wajib dikenakan sanksi pidana sebagaimana ditentukan dalam kaidah hukum
pajak. Apabila ditelusuri sanksi pidana sebagai suatu ancaman hukuman
ditunjukan kepada pelaku kejahatan yang memenuhi rumusan kaidah hukum pajak
hanya berupa hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda.
B. Kaidah Hukum Pajak
Hukum pajak sebagai
suatu hukum positif tidak dapat dilepaskan dari hukum publik. Subtansi hukum
pajak memuat kaidah hukum tertulis kerena dalam kenyataan bahwa kelahirannya
didasarkan pada Undang – Undang Pajak sebagaimana produk politik dari Dewan
Perwakilan Rakyat bersama dengan presiden. Ketentuan ini tersebar dalam
berbagai Undang – Undang Pajak yang bersifat formal maupun bersifat materil.
Disamping ituh dikenal pula kaidah
hukum pajak yang bersifat abstrak dan terarah kepada pihak – pihak yang
diharapkan menaati hukum pajak. Munculnya kajahatan di bidang perpajakan,
didasarkan pada kaidah hukum pajak yang berupaya membedakan dalam bentuk
seperti “Karena kelalaian” atau “dengan kesengajaan”.Adanya pembedaan itu
tergantung pada niat dari pelaku untuk mewujudkan perbuatannya yang terjaring
dalam kaidah hukum pajak. Sebenarnya kejahatan di bidang perpajakan muncul
karena didasarkan pada niat pelakunya saat melaksanakan tugas dan kewajiban
masing – masing.
C. Jenis Kejahatan di Bidang Perpajakan
Kejahatan yang terkait
dengan pelaksanaan hukum pajak memiliki keanekaragaman, karena didasarkan pada
berbagai kepentingan yang hendak dilindungi terutama kepentingan pendapatan
negara. Kejahatan di bidang perpajakan
memiliiki unsur “dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara”.
Dalam arti delik pajak memiliki unsur yang berbeda dengan unsur kerugian dalam
korupsi. Kejahatan di bidang perpajakan
merupakan awal dari delik pajak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang – undangan perpajakan. Tidak boleh disampaikan dengan
kejahatan sebagai awal dari delik korupsi yang diatur dalam UUPTPK. Adapun
jenis kejahat di bidang perpajakan, antara lain sebagai berikut :
1. Menghitung
atau menetapkan pajak;
2. Bertindak
di luar wewenang;
3. Melakukan
pemerasan dan pengancaman;
4. Penyalahgunaan
kekuasaan;
5. Tidak
mendaftarkan diri atau melaporkan usahanya;
6. Tidak
menyampaikan surat pemberitahuan;
7. Pemalsuan
surat pemberitahuan;
8. Menyalahgunakan
NPWP;
9. Menggunakan
tanpa hak NPWP;
10. Menyalahgunakan
pengukuhan pengusaha kena pajak;
11. Menyalahgunakan
NPWP;
12. Menolak
untuk diperiksa;
13. Pemalsuan
pembukuan, pencatatan atau dokumen lain;
14. Tidak menyelanggarakan pembukuan atau pencatatan di indonesia, tidak memperlihatkan atau
meminjamkan buku, catatan atau dokumen lain;
14. Tidak menyelanggarakan pembukuan atau pencatatan di indonesia, tidak memperlihatkan atau
meminjamkan buku, catatan atau dokumen lain;
15. Tidak
menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan;
16. Tidak
menyetor pajak yang telah di dipotong atau dipungut;
17. Menerbitkan
dan/ atau menggunakn faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak
dan/atau bukti setoran pajak;
dan/atau bukti setoran pajak;
18. Menerbitkan
faktur pajaktetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak;
19. Tidak
memberikan keterangan atau bukti;
20. Mengahalangi
atau mempersulit penyelidikan delik pajak;
21. Tidak
memenuhi kewajiba memeberikan data atau informasi;
22. Tidak
terpenuhi kewajiban pejabat dan pihak lain;
23. Tidak
memberiakan data dan informasi perpajakan;
24. Menyalahgunakan
data dan informasi perpajakan;
25. Tidak
memenuhikewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak ; dan
26. Tidak
dipenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak;
D. Kejahatan yang Tidak Terjangkau
Kejahatan terkait
pelaksanaan hak oleh wajib pajak tidak tejangkau dalam hukum pajak. Ketika
wajib pajak melaksanakan haknya sehingga menimbulkan kajahatan berupa dilakukan
dalam bentuk kelalaian atau dengan
sengaja. Kejahatan itu terjadi bila wajib pajak mengajukan keberatan kepada
lembaga keberatan. Akan tetapi, pada saat mengajukan kebertan, wajib pajak
menggunakan orang lain yang tidak berstatus sebagai pengurus maupun kuasa hukum
untuk mengajukan surat keberatan sampai pada tahap pengambilan keputusan oleh
lembaga keberatan.
2 Kejahatan oleh
Pegawai Pajak
A. Pengertian Pegawai Pajak
Pegawai pajak sebagai hukum pajak
diatur dalam Pasal 36A UUKUP. Namun, pengertian pegawai pajak tidak ditentukan
dalam kaidah hukum pajak, termasuk dalam pejelasan Pasal 36A UUKUHP. Pengertian
pegawai pajak dapat dirumuskan dengan tetap berpatokan pada ketentuan yang
berlaku agar tidak melahirkan penafsiran yang bersifat ganda.
Pegawai pajak adalah setiap orang
dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri sipil yang dipekerjakan pada kantor
Direktorat Jendral Pajak dalam lingkungan Kementrian Keuangan. Pegawai pajak
dalam melaksanakan tugas tidak boleh melanggar hukum, khususna hukum pajak
karena merupakan tanggung jawab yang dipercaya oleh negara. Namun tugas lain berupapencerminan
dari sumpah/janji yang di ucapkan pada saat pelantikan
B Landasan Hukum
Secara tegas, kejahatan
di bidang perpajakan yang dilakukan oleh pegawai pajak diatur pada pasal 36A
UUKUP. Ketentuan ini terdiri dari empat ayat dengan memuat jenis kejahatan yang
berbeda satu sama lainnya. Perbedaan itu bertujuan memberikan klasifikasi
berbagai kejahatan yang dilakukan oleh pegawai pajak ketika melaksanakan ketentuan
peratuan perundang – undangan perpajakan. Adapun jenis kejahatan itu adalah :
1. Menghitung
atau menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –
undangan perpajakan;
2. Bertindak
di luar kewenangannya;
3. Melakukan
pemerasan dan pengancaman; dan
4. Penyalahgunaan
kekuasaan.
C. kejahatan Dilakukan oleh Pegawai Pajak
Sebagai pegawai negeri
sipil, pegawai pajak wajib menaati ketentuan peratuaran perundang – undangan
yang berlaku, termasuk ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan.
Kewajiban ini merupakan konsekuensi dari sumpah/janji yang diucapakan saat
pelantikannya. UUKUP telah menentukan secara tegas jenis kejahatan di bidang
perpajakan yang dilakukan oleh pegawai pajak dalam rangka memberikan pelayanan
kepada wajib pajak. Diharapakan pegawai pajak dalam memberikan pelayanan kepada
wajib pajak tidak melakukan kejahatan seperti :
1. Menghitung
atau Menetapkan Pajak
2. Bertindak
di Luar Kewenangan;
3. Melakukan
Pemerasan dan Pengancaman;
4. Penyalahgunaan
Kekuasaan.
D. Saksi Pidana
Keempat jenis kejahatan di bidang perpakan tersebut
sebagaimana ditentuakn pasa 36A UUKUP mimiliki sanksi pidana yang berbeda – beda. Sementara sanksi pidana bagi pegawai pajak yang
melakukan kejahatan di bidang perpajakan merupakan bentuk pembinaan secara
langsung melalui instrumen hukum yang terkait dengan perbuatan yang
dilakukannya. Sanksi terhadap terhadap kejahatan menghitung atau menetapkan
pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang – undang perpajakan berdasarkan
Pasal 36A ayat (1) UUKUP adalah sesuai ketentuan peratuan perundang – undangan.
Jika dijabarkan lebih lanjut maka sanksi terhadap kejahtan ini, beralti
pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana maupun sanksi pegawai negeri sipil.
Sementara itu, berdasarkan Pasal 36
A ayat (2) UUKUP bahwa kejahatan bertindak di luar kewenangan pegawai pajak
dikenakan sanksi sesuai ketentuan peratuan perundang – undangan. Kemudian, sanksi
pidana terhadap kejahatan melakukan pemerasan dan pengancaman menurut pasal 36A
ayat (3) UUKUP diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam 368 KUUHP. Jika
dicermati kejahatan menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk
memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk
mengerjakan sesuatu bagi kepentingan pegawai pajak sebagaimana dimaksud Pasal
36A ayat (4) UUKUP.
3 Kejahatan oleh
Wajib Pajak
A. Pengertian Wajib Pajak
Pasal 1 (2) UUKUP secara tegas menentukan bahwa “wajib pajak adalah orang pribadi atau
badan, meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, ang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakn sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan”. Pada hakikatnya, wajib pajak tidak boleh
terlepas dari konteks perorangan agar tetap dalam kedudukannya sebagai pribadi.
Sementara itu badan sebagai wajib pajak adalah sekumpulan orang dan/modal yang
merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidakmelakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas dan perseroan lainnya. Wajib pajak pada
hakikatnya adalah subjek hukum yang wajib menaati hukum pajak. Wajib pajak
berdasarkan Pasal 1 (2) UUKUP terdiri dari :
1. Pembayar
pajak;
2. Pemotong
pajak;
3. Pemungut
pajak.
B.
Landasan Hukum
Landasan hukum bagi
kejahatan di bidang perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak tetuju pada
pasal 38, pasal 39, pasal 39 A, pasal 41 A, pasal 41B dan pasl 41C UUKUP. Ketika
dicermati ketentuan tersebut, ternyata wajib pajak melakukan kejahatan di
bidang perpajakan dilandasi pada unsur “karena kealpaan” atau “dengan
kesengajaan” dan bahkan posisi terbayak adalah kesengajaan. Hal ini terjadi
karena wajib pajak berupaya untuk mengelak atau menghindari diri dari pemenuhan
kewajiban tanpa menghiraukan kepentingan negara sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara.
C. Kejahatan Dilakukan oleh Wajib Pajak
Berbagai jenis
kejahatan di bidang yang terkait dengan pemenuhan kewajiban wajib pajak.
Sebenarnya, tidak perlu terjadi kejahatan di bidang perpajakan bila wajib pajak
memiliki kesadaran hukum tinggi untuk melaksanakan kewajiban teapat pada waktu
yang ditentukan dalam peraturan perundang – undangan perpajakan. Hal ini perlu disadari oleh wajib pajak agar tidak
berurusan dengan pihak – pihak yang
diwajibkan menegakan hukum pajak, baik di luar lembaga peradilan pajak maupun
di dalam lembaga peradilan pajak. Salah satu jenis kejahatan di bidang
perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak adalah :
1. Tidak
Mendaftarkan Diri atau Melaporkan
Usahanya;
2. Tidak
Menyampaikan Surat Pemberitahuan;
3. Pemalsuan
Surat Pemberitahuan;
4. Menyalahgunakan
Nomor Pokok Wajib Pajak;
5. Menggunakan
Tanpa Hak Nomer Pokok Wajib Pajak;
6. Menyalahgunakan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
7. Menggunakan
Tanpa Hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
8. Menolak
untuk Diperiksa;
9. Memalsuan
Pembukuan, Pencatatan, atau Dokumen lain;
10. Tidak
Menelanggarakan Pembukuan atau Pencatatan di Indonesia, Tidak Memperlihatkan
atau Tidak Meminjamkan Buku, Catatan, atau Dokumen Lain;
11. Tidak
Menyimpan Buku, Catatan, atau Dokumen yang Menjadi Dasar Pembukuan atau
Pencatatan;
12. Tidak
Menyetor Pajak yang Telah Dipotong atau Dipungut;
13. Menerbitkan
dan/atau MenggunakanFaktur Pajak, Bukti Pemungutan Pajak, Bukti Pemotongam
Pajak dan/atau Bukti Setoran Pajak;
14. Menerbitkan
Faktur Pajak tetapi Belum Dikukuhakn sebagai Pengusaha Kena Pajak;
15. Tidak
Memberi Aketerangan atau Bukti;
16. Menghalangi
atau Mempersulit Penyelidikan;
17. Tidak
Memenuhi Kewajiban Memberikan Data atau Informasi;
18. Tidak
Terpenuhi Kewajiban Pejabat dan Pihak Lain;
19. Tidak
Memberi Data dan Informasi Perpajakan;
20. Menyalahgunakan
Data dan Informasi Perpajakan.
D. Sanksi Pidana
Wajib pajak terbukti melakukan
kejahatan di bidang perpajakan sebagaimana diatur dalam ketetntuan UUKUP dikenakan
hukuman berdasarkan jenis kejahatan yang dilakuknannya. Sebenarna, tidak boleh
sama hukuman bagi wajib pajak sebagaimana yang diatur pada pasal 38, 39, 39A, 41 A, 41B, dan 41C
UUKUHP. Hal ini idasarkan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh wajib pajak berada
pada tingkatan ketidaksamaan akibat hukum yang ditimbulkan, walaupun ang
menjadi korban dari kejahatan itu adalah negara.
Sekalipun terdapat perbedaan jenis
hukuman yang boleh diterapkan, tetapi diharapkan bahwa hukuman itu dapat
dijadikan upaya agar wajib pajak tidak melakukan kejahatan di bidang perpajakan
dan bahkan pengulangan kejahatan
tersebut. Tujuan penghukuman terhadap wajib pajak pajak diharapkan ada unsur
pembinaan untuk memenuhi kewajiban di bidanng perpajakan. Berhubung karena,
negara sangat mengharapkan kepatuhan wajib pajak agar peranannya dslam
pembiayaan penelanggaraan pemerintahan dapat secara maksimal sehingga terlepat
ketergantungan negara dari utang luar negeri.
E. Pemberatan Sanksi Pidana
Pemberatan snaksi
pidana tidak hanya diatur dalam KUUHP melainkan juga dalam hukum pajak. Jika
ada dua peraturan hukum yang mengatur hukum yang sama maka dua peraturan hukum
yang mengatur hal yang terakhir berdasarkan subtansi yang terkandung dalam asa
hukum “lex specialis derogat legi
generali” . Hal ini menunjukan bahwa pemberatan snksi pidana yang diatur
dalam hukum pajak mengenyyampingkan pemberatan sanksi pidana yang diatur dalam
KUUHP. Pengenyampingan itu dilakukan karena telah terjadi kejahatan yang memenuhi
unsur – unsur delik pajak.Ketentuan yyang terkait dengan pemberatan sanksi
pidana terhadap kejahtan di bidang perpajakan diatur dalam pasal 39 ayat (2)
UUKUP.
E.
Percobaan Melakukan Delik Pajak
Hukum pajak memandang bahwa
percobaan atau poging merupakan suatu kejahatan di bidang perpajakan yang
berdiri sendiri dalam bentuk delik pajak. Demikian pula yang yang dikemukakan
oleh Wirjono Prodjodikoro bahwa pada umumnya, kata “percobaan” beralti suatu
upaya mencapai suatu tujuan yang akhirnya tidak atau belum tercapai (Wirjono
Prodjodikoro, 2003;106). Oleh karena ituh, percobaan mengandung subtansi bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan tidak mencapai tujuan yang
diharapkan.
Pengaturan mengenai percobaan
melakukan kejahatan di bidang perpajakan sebagai delik pajak yang berdiri
sendiri terdapat pada Pasal 39 (3) UUKUP. Ketentuan ini menegaskan bahwa setiap
orang yang melakukan :
1. Menyalahgunakan
Nomor Pokok Wajib Pajak;
2. Menggunakan
Tanpa Hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
3. Pemalsuan
Surat Pemberitahuan.
4 Kejahatan oleh
Pejabat Pajak
A. Pengertian Pejabat Pajak
Pejabat
adalah petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang
perpajakan. Petugas pajak berdasarkan pembagian pajak negaradan pajak daerah meliputi
petugas pajak negara dan petugas pajak daerah. Kaidah hukum pajak mempersamakan
antara petugas pajak dengan tenaga ahli yang ditujuk oleh gubernur atau kepala
daerah lainnya untuk membantu pelaksanaan hukum paja. Adapun pihak – pihak yang
tergolng sebagai pejabat pajak adalah sebagi berikut :
1. Direktur
jendral pajak;
2. Direktur
jenderal bea dan cukai;
3. Gubernur
kepala daerah;
4. Bupati/
walikota kepala daerah; dan
5. Pejabat
yang ditunjuk untuk melaksanakan peraturan perundang – undangan perpajakan,
seperti kepala kantor pelayanan pajak atau kepala dinas pendapatan daerah;
6. Tenaga
ahli yang ditunjuk oleh direktur jenderal pajak atau kepala daerah.
B.
Landasa Hukum
Kejahatan di bidang
perpajakan yang dilakukan oleh pejabat pajak sangat terkait dengan rahasia perpajakan
dari wajib pajak. Berhubung karena, pejabat pajak memiliki kewajiban untuk
merahasiakan rahasia perpajakan dari wajib pajak yang telah diketahuinya.
Kewajiban ini terlanggar karena kealpaan atau dengan kesengajaan dilakukannya
kejahatan untuk itu. Hal tersebut dilandasi pada Pasl 41 ayat (1) dan ayat (2)
UUKUP. Namun, kejahatan ini dikategorikan ke dalam delik aduan, karena menurut
Pasal 41 ayat (3) UUKUP terlebih dahulu harus diadukan agar boleh dilakukan
penuntutan.
C.
Kejahatan Dilaukan oleh Pejabat Pajak
Pejabat pajak terikat pada kaidah
hukum pajak yang terkait dengan kerahsiaan wajib pajak dalam bentuk kewajiban
hukum yang tidak boleh dilanggar. Jika pejabat pajak tidak memenuhi kewajiban
itu, beralti telah melakukan kejahtan di bidang perpajakan. Kejahatan dilaukan
oleh pejabat pajak adalah :
1. Tidak
memenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak;
2. Tidak
dipenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak.
D. Sanksi Pidana
Kejahatan di bidang perpajakan yang
dilakukannoleh pejabat pajak hanya ada dua jenis kejahatan. Yaitu kejahatan
tidak memenuhi kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak dan kejahatan tidak
dipenuhina kewajiban merahasiakan rahasia wajib pajak kerena dipengaruhi
seseorang. Kedua kejahatan ini memiliki
sanksi yang berbeda, di satu lain dilakukan karena kealpaan dan satu lagi
dilkukan dengan sengaja. Sanksi pidana kejahatan tidak memenuhi kewajiban
merahasiakan rahsia wajib pajak berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UUKUP adalah
pdana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak dua puluh lima
juta rupiah. Sementara itu, sanksi pidana bagi kejahatan tidak dipenuhinya
kewajiban merahsiakan rahasia wajib pajak karena pengeruh seorang berdasarkan
Pasal 41 (2) UUKUP adalah pidana paling lama dua tahun dan denda palang banyak
sebesar lima puluh juta rupiah.
5
Kejahatan oleh Pihak Lain.
A.
Pengertian
Pihak Lain
Bukan hanya pegawai pajak, wajib pajak, dan pejabat
pajak, tetapi pihak lain dapat pula melakukan kejahatan di bidang perpajakan.
Kejahatan yang dilakukan itu sangat terkait dengan pelaksanaan kewajiban wajib
pajak sebagaimana yang telah ditentukan dalam hukum pajak. Pihak lain bukan
merupakan satu kesatuan yang menyatu dengan pegawai pajak, wajib pajak, dan
pejabat pajak, melainkan berada dalam kedudukan yang terpisah. Pihak lain
meliputi pegawai wajib pajak, wakil, kuasa hukum, konsultan pajak, akuntan
publik, dan profesi lain seperti, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan
dokter.
B.
Landasan
Hukum
Pihak
lain sebagai pihak yang melakukan kejahatan di bidang perpajakan, ketentuannya
secara tegas diatur pada Pasal 43 UUKUP;
(1) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil,
kuasa, pegawai dari wajib pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang
turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 41A dan Pasa141B berlaku jugs bagi yang
menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan.
Jika
dicermati kedua ayat dalam Pasal 43 UUKUP tersebut, ternyata terdapat perbedaan
prinsipil keikutsertaan pihak lain dalam melakukan kejahatan yang terfokus pada
delik pajak. Pada ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUKUP mengenal tiga bentuk
keikutsertaan pihak lain, yaitu: 1) menyuruh melakukan kejahatan, 2) turut
serta melakukan kejahatan, 3) menganjurkan melakukan kejahatan, dan 4) membantu
melakukan kejahatan yang dikategorikan sebagai delik pajak. Sementara itu,
ketentuan pada Pasal 43 ayat (2) UUKUP tersebut, hanya mengatur tiga bentuk
keikutsertaan pihak lain yaitu: 1) menyuruh melakukan kejahatan, 2) yang
menganjurkan melakukan kejahatan, dan 3) yang membantu melakukan kejahatan yang
dikategorikan sebagai delik pajak.
C.
Kedudukan
Pihak lain dalam Kejahatan di Bidang Perpajakan
Subtransi hukum
ang terkandung dlam Pasal 43 UUKUP ternyata pihak lain berada dalam kedudukan
sebagai “peserta” atau “penyertaan”. Dalam kaitan ini Wirjono Prodjodikoro
berpendapat kata “peserta” beralti turut serta seorang atau lebih pada waktu
orang lain melaukan tindakan pidana (Wirjono Prodjodikoro). Pada hakikatna,
pihak lain yang berada dalam delik pajak bukan merupakan pelaku (dader) yang
mewujudkan delik itu melainkan berada pada kedudukan yang mewujudkan delik itu seperti
:
1. Menyuruh
Melakukan;
2. Turut
Melakukan;
3. Menganjurkan
Melakukan;
4. Membantu
Melakukan
D.
Sanksi
Pidana
Pihak lain dlam melakukan kejahatan
di bidang perpajakan berdasarkan Pasal 41 (1) dan (2) UUKUP berada dalam
kedudukan sebagai penyertaan bukan merupakan pelaku. Dalam hal ini, sebagai
pelaku ada;ah wajib pajak memiliki kewajiban yang harus menyebabkan terjadinya
kejahatan di bidang perpajakan. Namun, sanksi pidana yang dikenakan kepada
pihak lain dalam kedudukannya sebagai penyertaan tidak berbeda dengan wajib
pajak tersebut.
Sanksi pidana bagi wajib pajak yang melakukan kejahatran di bidang
pepajakan berdasarkan Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41A, dan Pasal 41B UUKUP
diberlakukan pula kepada pihak lain yang menyuruh lakukan kejahatan, yang turut
serta melakukan kejahatan, ang menganjurkan kejahatan atau yang membantu
melakukan kejahatan.
6 Pemeriksaan
Bukti Permulaan
A. Dasar Hukum
Untuk menentukan keberadaan suatu
delik pajak, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum
dilakukan penyidikan. Hal ini yang membedakan dengan delik lainnya karena tidak
memerlukan pemeriksaan bukti permulaan sebagaimana yang ditentukan dalam UUHAP.
Misalnya, delik pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam KUUHP dan delik
korupsi sebagaimana diatur daiam UUPTPK secara langsung dilakukan penyidikan
tanpa diawaii dengan pemeriksaan bukti permulaan.
Perbedaan itu menampakkan ketika
terjadi pelanggaran hukum pajak dalam bentuk ada dugaan terjadi delik pajak.
Sebenarnya, pemeriksaan bukti permulaan bertujuan untuk mengukuhkan secara
tegas bahwa ada bukti permulaan yang menjadi petunjuk sehingga dilakukan
penyidikan terhadap suatu delik pajak. Maksudnya adalah untuk menghindari atau
mencegah agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi wajib pajak penyidik tanpa
didukung dengan bukti permulaan. Dasar hukum pemeriksaan bukti permulaan
terdapat pada pasal 43A UUKUP sebagai berikut.
(1) Direktur jenderal pajak berdasarkan informasi,
data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemerik_ saan bukti permulaan
sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
(2) Dalam
hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut
petugas DirektoratJenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit
pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan
pemeriksaan bukti permulaan;
(3) Apabila
dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat
Jenderal pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hokum tindak
pidana korupsi;
(4) Tata
carapemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan
menteri keuangan.
Pasal 43A ayat (4) UUKUP
memberikan wewenang kepada
menteri keuangan untuk mengatur
tata cara pemeriksaan bukti permulaan bila ada dugaan terjadi delik pajak.
Bentuk hukum yang digunakan adalah peraturan menteri keuangan untuk mengatur
tata cara pemeriksaan bukti permulaan bila ada dugaan terjadi delik paj ak. S
ebagai pel aksan aan pasal 43A
ayat (4) UUKUP ditetapkan peraturan
Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2007 tentang Tata Cara
pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang perpajakan.
B. Ruang Lingkup
Pemeriksaan Bukti Permulaan
Apabila terdapat
indikasi atau ada dugaan terjadi delik pajak yang tidak didasarkan pada bukti
permulaan, pada hari itu tidak boleh dilakukan secara langsung penyidikan.
penyidik pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak tidak boleh secara langsung melakukan penyidikan terhadap dugaan terjadi
delik pajak.
Pemeriksaan bukti permulaan adalah
pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya
dugaan terjadi delik pajak. Pemeriksaan bukti permulaan pada hakikatnya sebagai
instrumen hukum pajak yang bertujuan untuk mengungkapkan keberadaan bukti
permulaan ada dugaan terjadi delik pajak. Apabila dalam pemeriksaan bukti
permulaan ditemukan bukti permulaan adanya dugaan terjadi deiik pajak, berarti
dapat ditindaklanjuti ke arah penyidikan. Sebaliknya, bila tidak ditemukan
bukti permulaan adanya dugaan terjadi delik pajak berarti pemeriksa bukti
permulaan itu wajib meniadakan informasi, data, laporan, atau pengaduan
tersebut. Hal ini disebabkan karena informasi, data, laporan,
atau
pengaduan itu tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk memberikan
legalitas adanya dugaan terjadi delik pajak.
Bukti permulaan yang akan dilakukan
pemeriksaan tertuju pada keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan,
tulisan, atau bendayang dapat memberikan petunjuk ada dugaan terjadi delik
pajak. Bukti permulaan bersumber dari informasi, data, laporan, ata:u pengaduan
yang berkaitan dengan delik pajak, baik yang ditemukan oleh pegawai pajak
maupun yang disampaikan oleh wajib pajak atau pihak lainnya.
Pelaksanaan
Pemeriksaan Bukti Permulaan
.
Ruang lingkup pemeriksaan bukti permulaan dapat meliputi 1) beberapa, atau
seluruh jenis pajak baik untuk satu atau beberapa masa pajak;2) bagian tahun
pajak dan tahun pajak yang terdapat dugaan terjadi delik pajak.
1.
Pemeriksa
Pemeriksa bukti permulaan menurut Pasal
1 angka 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2007 adalah sebagai
berikut.
a. Pegawai
negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang
ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung
jawab untuk melaksanakan pemeriksaan bukti permulaan; atau
b. Pegawai
negeri sipil pada unit pemeriksa internal departemen keuangan yang diberi tugas
oleh menteri keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan bila terdapat
indikasi delik pajak yang dilakukan oleh petugas Direktorat Jendral Pajak.
2. Pelaksanaan Pemeriksaan
Bukti Permulaan
. Ruang
lingkup pemeriksaan bukti permulaan dapat meliputi 1) beberapa, atau seluruh
jenis pajak baik untuk satu atau beberapa masa pajak : 2) bagian tahun pajak dan tahun pajak yang
terdapat dugaan terjadi delik pajak. Standar pelaksanaan pemeriksaan bukti
permulaan yang tidak boleh dikesampingkan dalam pelaksanaan pemeriksaan bukti
permulaan oleh pemeriksa bukti permulaan. Standar pelaksanaan pemeriksaan bukti
permulaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
202/PMK.03 /2007 adalah sebaga! berikut.
a.
pelaksanaan pemeriksaan
bukti permulaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan
tujuan pemeriksaan bukti permulaan, dan mendapat pengawasan yang saksama;
b.
luas pemeriksaan bukti
permuiaan ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh harus dikernbangkan
melalui penyesuaian data, pengamatan, permintaan keterangan, konfirmasi, dan
pengujian lainnya berkenaan dengan pemeriksaan bukti permulaan;
c.
temuan pemeriksaan
bukti permulaan harus didasarkan pada bukti yang sah dan cukup-serta sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
d.
tim pemeriksa bukti
permulaan terdiri dari beberapa pemeriksa bukti permulaan yang salah satunya
adalah penyidik, kecuali dalam hal di suatu kantor wilayah Direktorat Jenderal
Pajak tidak ada penyidik;
e. pemeriksaan
bukti permulaan dapat diiaksanakan di kantor DirektoratJenderai Pajak, tempat
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas wajib pajak, tempat tinggal wajib pajak,
atau di tempat lain yang dianggap perlu oleh pemeriksa bukti permulaan kerja
dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja
f. pemeriksaan
bukti permulaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila diperlukan dapat
dilanjutkan di luar jam kerja;
g.
pelaksanaan pemeriksaan bukti permulaan
didokumentasikan tasikan dalam kertas kerja pemeriksaan bukti permulaan;
h.
pemeriksaan bukti permulaan
harus diberitahukan kepada wajib pajak dalam hal pemeriksaan bukti permulaan
dilakukan terhadap wajib pajak badan; dan
i.
wajib pajak badan
sebagaimana dimaksud pada huruf h diberi hak untuk hadir dalam pembahasan akhir
hasil pemeriksaan bukti permulaan dalam batas waktu yang ditentukan dalam hal
hasil pemeriksaan bukti permulaan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat
ketetapan pajak.
3.
Kewajiban
dan Wewenang Pemeriksa
Pemeriksa bukti permulaan memiliki
kewajiban dan wewenang. Kedua materi hukum ini (kewajiban dan wewenang) agar
dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang berlaku sehingga terhindar dari
keberatan yang dapat diajukan oleh wajib pajakyangdiperiksa. Hal ini
dimaksudkan agar pemeriksa bukti permulaan dalam melaksanakan pemeriksaan bukti
permulaan tidak mengalami hambatan untuk mengungkapkan ada dugaan terjadi delik
pajak.
Dalam melaksanakan pemeriksaan bukti
permulaan, pemeriksa bukti permulaan sebagaimana diatur pada Pasal 10 ayat (1)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/ PMK.03 /2007 berkewajiban sebagai
berikut.
a. menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis tentang akan dilakukan pemeriksaan bukti
permulaan kepada wajib pajak;
b. memperlihatkan
tanda pengenal pemeriksa pajak dan surat perintah pemeriksaan bukti permulaan
kepada wajib pajak pada waktu melakukan pemeriksaan bukti permulaan;
c. menjelaskan
alasan dan tujuan pemeriksaan bukri permulaan kepada wajib pajak;
d. memperlihatkan
surat tugas kepada wajib pajak apabila terdapat perubahan susunan tim pemeriksa
bukti permulaan;
e.
melakukan pembinaan
kepada wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundan g-undangan perpaj akan;
f.
memberitahukan temuan
pemeriksaan bukti permuiaan kepadawajib pajak dalam hal pemeriksaan bukti
permulaan dilakukan terhadap wajib pajak badan dan ditindaklanjuti dengan
penerbitan surat ketetapan pajak;
g.
melakukan pembahasan
akhir hasil pemeriksaan bukti permuiaan dengan wajib pajak dalam hal
pemeriksaan tukti permulaan dilakukan terhadap wajib pajak badan dan
ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak;
h.
mengembalikan buku atau
catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen
lainnya yang dipinjam dari wajib pajak paling lama tujuh hari sejak tanggal
laporan pemeriksaan bukti permuiaan dalam hal pemeriksaan bukti permulaan tidak
ditindaklanjuti dengan penyidikan;
i.
merahasiakan kepada
pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan
kepadanya oieh wajib pajak dalam rangka pemeriksaan bukti permulaan;
j.
mengamankan bahan bukti
yang ditemukan daiam pemeriksaan bukti permulaan apabllapemeriksaan bukti
permulaan ditindaklanjuti dengan penyidikan;
k.
membuat berita acara
permintaan keterangan para calon tersangka, calcn saksi, dan/atau pihak-pihak
lain yang berkaitan; dan terdapat perubahan susunan tim pemeriksa bukti
permulaan;
l.
membuat laporan
kejadran, clalam hal pemenksaan buktl permulaan ditindaklanjuti dengan
penyidikan.
Sementara itu, dalam melaksanakan
pemeriksaan bukti permulaan, pemeriksa bukti permulaan sebagaimana diatur pada
Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202 /PMK.03 / 2007 berwenang
untuk:
a. meminjam
dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau
pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh,
kegiatan usaha, pekerjaan bebas wajib pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. mengakses
dan/ atau menguduh data yangdikelola secara elektronik;
c. memasuki
dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang
diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau
barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas wajib pajak, atau objek yang terutang pajak;
d. meminta
kepada wajib pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan bukti
permulaan yang antara lain berupa:
1)
menyediakan tenaga
dan/atau peralatan atas biaya wajib pajak apabila dalam mengakses data yang
dikelola secara elektronik rnemerlukan peralatan dan/ atau keahlian khusus;
2)
memberi kesempatan
kepada pemeriksa bukti permulaan untuk membuka barang bergerak dan/ atau tidak
bergerak; dan/atau
3)
menyediakan ruangan
Khusus tempat diakukannya pemeriksaan bukti permulaan dalam hal jumlah buku,
catatan, dan dokumen sangat banyak sehingga sulit untuk dibawa ke kantor
Direktorat Jenderal Pajak.
e. melakukan
penyegelan temPat atau ruang tertentu sertab barang bergerak dan/ataubarang
tidak bergerak;
f. meminta
keterangan lisan dan/atau tertulis dari wajib pajak;
g.
meminta keterangan
dan/atau bukti yarrg diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan hokum dengan wajib pajak yang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan;
h. melakukan
pemanggilan dan meminta keterangan kepada para calon tersangka, calon saksi,
dan/atau pihak-pihak lain berkaitan yang dituangkan dalam be.rita acara
permintaan keterangan.
C. Tindak Lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan
Selain
penyidikan dapat pula ditindaklanjuti pemeriksaan bukti permulaan daiam bentuk
tindakan tainnya. Tindakan lainnya dapat berupa, seperti:
1. Penerbitan
surar ketetapan pajak dalam har pemeriksaan bukti permulaan dilaksanakan
terhadap:
a.
wajib pajak yang
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A UUKUP atas keaipaan
yang perrama kali diketahui oleh direktur jenderai pajak;
b.
wajib pajak badan yang
tidak memenuhi ketenruan Pasal 29 ayat (3) dan ayat (3a) UUKUP; tetapi tidak
ditemukan bukti permulaan bahwa wajii pajak melakukan delik pajak. Pembuatan
laporan kepada pihak lain yang berwenang apabila ditemukan bukti permulaan yang
mengandung adanya unsur delik selain delik pajak.
2. Pembuatan
laporan kepada pihak lain ang berwenang apabila ditemukan bukti permulaan yang
mengandung adanya unsur delik selain delik pajak.
3. Pembuatan
laporan sumir apabila wajib pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbu atannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) UUKUP
4. Pembuatan
laporan sumir apabiia tidak ditemukan adanya indikasi delik pajak , wajib pajak
yang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tidak ditemukan, wajib pajak orang
pribadi yang dilakukan pemeriksaan butti permulaan meninggal dunia; atau
5. Mengirimkan
risalah mengenai temuan pemeriksaan bukti permulaan terkait dengan pembuatan
laporan sumir sebagaimana pada angka 4 dalamhal rerdapat pajak yang terutang.
Tindakan lainnya sebagaimana
tersebut di atas, pada hakikatnya merupakan bagian dari penerapan sanksi
administrasi terhadap wajib pajak yang dikenakan pemeriksaan bukti permulaan.
Apabila sanksi administrasi itu tidak dipenuhi dalam jangka wakru yang
ditentukan dapat dilakukan penagihan secara paksa dengan menggunakan surat
paksa. Konsekuensi dari penagihan berdasarkan surat paksa beiujung pada
penyanderaan, tidak tergolong sebagai bentuk pelanggaran hak asasi wajib pajak
yang rersandera.
7 Penyidikan
A. Pengertian
Dalam ketentuan Pasal 1 (28) UUKUP
ditentukan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuktikan
tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi dan menemukan tersangkanya.
B.
Penyidik
Adanya penyidikan disebabkan karena
adanya temuan yang diperoleh oleh pemeriksa bukti permulaan bahwa pegawai
pajak, wajib pajak, atau pihak lainnya terindikasi melakukan delik pajak.
Penyelidikan dilakukan oleh penyidik ang ditunjuk secara tegas dalam hukum
pajak. Penyelidikan delik pajak dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkugan Direktorat
Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus melakukan wewenang.
C. Wewenag Penyidik
Wewenang penyidik
pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
adalah sebagai berikut :
1. Menerima,
mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan delik
pajak yang terkait dengan pajak negara agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lebih lengkap dan jelas;
2. Menerima,
mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan delik pajak yang terkait dengan
pajak negara; Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan delik pajak yang terkait dengan pajak negara;
3. Meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan delik pajak
yang terkait dengan pajak negara;
4. Memeriksa
buku – buku, catatan – catatan, dan dokumen – dokumen lain berkenaan delik
pajak yang terkait dengn pajak negara;
5. Melakukan
pengeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen –
dokumen lain, serta melakukan penyitaan
terhadap bahan bukti tersebut;
6. Meminta
bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyelidikan delik pajak
yang terkait dengan pajak negara;
7. Menyuruh
berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruang atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan
memeriksa identitas orang dan/ atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud
pada no 5;
8. Memotret
seseorang yang berkaitan delik pajak yang terkait dengan pajak negara;
9. Memanggil
orang untuk didengar keterangan dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
10. Menghentikan
penyidikan;
11. Melakukan
tindakan lain yang perlu kelancaran penyidikan delik paja yang terkait dengan
pajak negara menurut hukum yang bertanggung jawab.
E.
Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan
Penidikan delikan delik
pajak yang terkait dengn pajak negara tidak boleh dilakukan oleh penyidik
pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
sebelum memberitahukan kepada penuntut umum. Pemberitahuan itu berisikan bahwa
dimulainya penyelidikan delik pajak yang terkait dengan pajak negara.
F.
Penyampaian
Hasil Penyidikan
Setelah
selesai dan sempurna penyidikan yang dilakukan oleh penyidikan pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak terhadap delik hukum
pajak, wajib disampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum. Prosedur itu
disampaikan melalui penidik pejabat polisi dengan berpatokan pada UUHAP.
8 Penghentian
Penyidikan
A. Pendahuluan
Penyidikan tidak selalu berujung
pada penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Hal ini didasarkan pada
suatu alasan yuridis yang tidak boleh dikesampingkan karena dapat melanggar
ketentuan yang berlaku dalam hukum pajak. Dalam arti hukum pajak memebrikan
pengecualian agar penidik tidak melanjutkan penidikan terhadap pelaku delik
sehingga tidak terjadi pelanggran hak asasi manusia. Penghentian penyelidikan
bukan merupakan inisiatif dari peneylidik, melainkan hukum pajak memerintahkan
agar penyidikan itu tidak dilanjutkan karena terpenuhi alasan – alasan yuridis.
Ancaman hukuman terhadap penyidik
yang tidak menghentikan penyidikan dapat berupa sanksi pidana dan sanksi
administrasi. Hal sebagai konsekuensi dari negara yang menganut prinsip negara
hukum yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum sebagaimana
diamanatkan dalam alinea keempat pembukaan UUD NRI 1945.
B.
Penghentian Penyidikan pada Tahap Awal
Penghentian penyedikan yang
dilakukan oleh penyeidik pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak wajib pajak didasarkan pada alasan – alasan yang
telah ditentukan dalam Pasal 44A UUKUP. Adapun alasan – alasan penghentian
penidikan terhadap pelaku delik hukum pajak adalah :
1. Tidak
Terdapat Cukup Bukti.
2. Peristiwa
Bukan Delik Pajak
3. Peristiwa
Telah Daluarasa
4. Tersangka
Meninggal Dunia
C.
Penghentian Penyidikan pada Tahap Lanjutan
Penyidikan pada tahap
lanjutan dimaksud adalah penyelidikan yang dilakukan oleh penyelidik dalam
lingkungan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Penyidikan dilakukan karena
menganggap bahwa penyidikan tidak
sempurna atau tidak lengkap terkait dengan delik pajak. Ketika penyidikan
berada dalam kewenangan penyidik dalam lingkungan Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, setiap saat dapat dihentiakn karena permintaan menteri keuangan pada
kejaksaan agung. Penghentian penyidikan
oleh jaksa agung hanya tertuju kepada wajib pajak yang melakukan delik hukum
pajak. Kapan saatnya jaksa agung menghentikan penyidikan. Dalam hal ini, jaksa
agung menghentikan penyidikan paling lama dalam jangka waktu enam bulan sejang
tanggal surat permintaan dari menteri keuangan sesuai Pasal 44B (1) UUKUP.
D.
Sifat Hukum Penghentian Penyidikan
Penghentian penyidikan tidak boleh
dilakukan sekedar dinyatakan secara lisan, tetapi wajib didasarkan atas suatu
landasan hukum yang dibenarkan. Sebenarna, penghentian wajib dilakukan dalam
bentuk tertulis yang diterbitkan oleh atasan penidik bedasarkan pertimbangan –
pertimbangan dari penyidik bersangkuatan. Pertimbangan itu berada dalam
kerangka hasil penyidikan sehingga dapat dipertanggung jawabkan ketika ada
keberatan terhadap penghentian penyidikan tersebut. Sifat hukum terhadap
penghentian penyidikan yang didasarkan pada surat perintah penghentian
penyikdikan yang menciptakan kepastian huum bersifat sementara karena yang
disidik tidak terdapat cukup bukti atau perbuatan itu bukan delik hukum pajak.
9
Penuntutan
A.
Siapa
Melakukan Penuntutan
Apabila penyidikan dianggap selesai,
penyidik pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak melaporkan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat polisi
negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UUHAP yang
berlaku. Ketika berkas perkara yang terkait delik hukum pajak telah dilimpahkan
dan berada dalam wewenang penuntut umum beralti tanaggung jawab telah beralih
dari penidik pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat
Jendral Pajak pada Penuntut Umum.
B.
Wewenang
Penuntut Umum
Wewenang yang dimilili oleh penuntut
umum hanya bertujuan agar penuntut umum mampu melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim. Akan tetapi, dalam pelaksanaan wewenang itu
ternyata melanggar ketentuan dalam hukum pajak beralti penuntut umum melakukan
perbuatan hukum yang melanggar hukum pajak. Pelanggaran hukum pajak tidak beralti
melanggar UUHAP karena kedua hal ini terpisah secara tegas. Wewenag yang
dimiliki oleh penuntut umum secara tegas ditentukan dalam Pasal 14 UUHAP.
C.
Larangan
Bagi Penuntut Umum
Larangan
bagi penuntut umum dalam melakukan penuntutan terhadap delik hukum pajak yang
berhubungan dengan wajib pajak atau bukan wajib pajak adalah sebagai berikut.
1. Melakukan
ancaman fisik;
2. Melakukan
pemerasan;
3. Memperkaya
diri sendiri/ orang lain;
4. Memerintah
untuk melakukan perbuatan yang dilarang UUKUP;
5. Memerintah
untuk tidak melakukan perbuatan yang ternyata perbuatan itu merupakan perintah
UUKUP;
6. Menuntut
delik hukum pajak yang terjadi di luar daerah hukumnnya;
D.
Pelaksana
Penuntutan
Penuntutan
dilaksanakanoleh penuntut umum terhadap siapapun yang melakukan delik hukum
pajak daerah hukumnyaberdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan oleh pejabat
pegwai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
0 komentar:
Posting Komentar